World Rabies Day (WRD) yang jatuh pada tanggal 28 September telah membuat seluruh insan di dunia sadar akan bahaya rabies. Hanya dengan vaksinasi Rabies 100% dapat dicegah. Vaksinasi pada manusia dapat menyelamatkan manusia dari kematian dan vaksinasi pada hewan akan dapat mencegah penyebaran virus. Menurut data World Health Organization (WHO) setiap tahunnya sebanyak 55.000 orang meninggal akibat rabies dan 95% kasus terjadi di Asia dan Afrika. Dan yang mengkawatirkan 40 % kasus rabies menimpa anak-anak <15 tahun. Di Indonesia sendiri kematian akibat rabies diprediksi sebanyak 130 kasus setiap tahunnya. Kasus tertinggi terjadi di Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Bali. Demikian dikatakan Prof Dr Suwarno pada acara : Seminar dan Focus Group Discussion
“Pendekatan One Health dalam Upaya emberantasan Penyakit Rabies”, pada 3 Oktober 2018, di Kampus UNPAD di Jatinangor.
Acara yang dibuka oleh Wakil Rektor 1 UNPAD dan dihadiri oleh sekitar 250 peserta dari berbagai daerah di Indonesia ini menghadirkan empat pembicara, yakni Drh Febi Purwo dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Dr. Ronaldona dari Direktorat Pencegahan dan pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes, Prof Dr. Roostita Balia dari Universitas Padjadjaran dan Prof Dr Suwarno dari Universitas Airlangga. Hadir di antaranya perwakilan dari FAO Ectad, Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Dinas Peternakan Provinsi dan Kota se Jawa Barat, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten se Jawa Barat, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), stakeholder, Dekan FKH UNAIR dan FKH UNTB, LSM Sahabat Anti Rabies, serta para mahasiswa UNPAD.
Menurut Febi, Indonesia termasuk daerah endemic rabies, di mana 25 provinsi adalah daerah tertular dan hanya 9 provinsi yang dinyatakan bebas. Rabies dapat ditangani melalui slogan STOPS, yang merupakan penjabaran dari sosial budaya, teknik, one health, politik dan sumber daya.
Sementara itu Dr. Dona menjelaskan tentang teknik pre dan post exposure terhadap kasus gigitan anjing dengan menggunakan VAR (vaksin anti rabies) dan SAR (serum anti rabies). Terbatasnya persediaan vaksin pada manusia telah menyebabkan seringnya kasus kematian akibat terlambatnya penanganan.
Prof Roostita menyoroti tentang peran anjing sebagai vektor penyebar rabies di Jawa Barat. Tingginya mobilitas anjing dan keengganan masyarakat untuk melakukan vaksinasi pada anjing menjadikan rabies sulit diberantas di Indonesia.
Pada kesempatan itu Prof Suwarno berbicara terkait potensi pengembangan vaksin rabies di Indonesia. Salah satu yang menarik adalah Indonesia merupakan satu-satunya negara yang berani menggunakan virus rabies isolat lokal sebagai bahan vaksin untuk pengebalan pada hewan. Vaksin ini telah diproduksi oleh PT Caprifarmindo Labs (Sanbe Group) yang bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR.
Di akhir acara moderator memberikan kesimpulan : kendala utama tingginya kasus rabies antara lain kurang maksimalnya penanganan kasus gigitan pada manusia, kurang tersedianya vaksin anti rabies (VAR) dan serum anti rabies (SAR) di setiap Puskesmas yang ada, kurang tersedianya VAR untuk hewan, rendahnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya keganasan virus rabies, meningkatnya jumlah konsumsi daging anjing, mobilitas penduduk / HPR yang dilalulintaskan, tidak akuratnya data populasi HPR, dan mutasi virus yang terus menerus mempertahankan tingkat keganasan virus.
Acara ditutup dengan aplikasi slogan Stops Rabies zero 2030, yang ditirukan oleh semua hadirin. (SWN 031018)